Sinar lampu jalanan yang memantul ketika menyinari
aspal yang basah terkena hujan bisa membawa suasana hangat yang berselimut.
Berselimut di antara dinginnya udara yang membawa air, membawa hawa dingin,
dingin yang kian terasa jika mengenai kulit mereka-mereka yang kesepian. Angin
tak pernah memberi isyarat kepada hujan saat dia hendak mengirimkan udara
dingin pemicu mendung, tak ada pesan yang ku tangkap, tapi hujan selalu tahu
mengartikan hal yang di inginkan udara. Hujan memang selalu pengertian. Bahkan
untuk sebagian orang hujan selalu pengertian dengan keadaannya.
Hal yang paling menggores hati ketika hujan tak
kunjung turun walaupun udara telah memberi isyarat mendung. Bagi sebagian orang
mungkin ini di sebut PHP. Tapi bagi sebagian orang ini di sebut belum waktunya.
Aku lebih suka keadaan ini di sebut belum waktunya. Belum waktunya bagi hujan
mengartikan udara dingin menjadikan dia menurunkan hujan. Iya, ini belum
waktunya.
Setiap rintik tetes hujan juga bagiku mengagumkan,
seperti hendak mengakhiri drama “turunnya hujan” tapi dengan ending yang
perlahan-lahan. Pernahkah kau lihat ketika hujan sedang deras-derasnya lalu
berhenti begitu saja tanpa sebab akibat? Tak pernah. Yang ada hujan akan
mengurangi volume debitnya, lalu kemudian semakin pelan, pelan, dan berhenti.
Berhenti mengakhiri drama, berhenti mengakhiri keadaan.
Di saat seperti ini adalah saat yang di nantikan
bagi sebagian orang yang terjebak menunggu hujan di kantor, di sekolah, di toko
buku, dll. Mereka menantikan hujan berhenti agar bisa pulang. Tapi tak jarang
justrul ketika hujan sudah menunjukkan gelagat berhenti dia malah kembali
menangis sederas-derasnya. Seakan ada kesalahan yang di buat oleh awan,
matahari, atau udara yang membuat hujan kembali menangis dengan derasnya. Dia memberi
PHP bagi orang-orang yang sudah gembira menunggunya berhenti, dia menghancurkan
“drama ending berhentinya hujan”, dan dia kembali membuatku menunggu.
Hujan deras ini membuat ku memandangi jln. Gadjah
mada dari lantai 2 sebuah toko buku terkenal, aku memandangin suara klakson
dari angkot-angkot yang ingin melaju kencang, aku memandangi beberapa orang
berjalan dengan tergesah-gesah karena hujan yang deras. Dan aku memandangi seorang
ibu muda di toko buku ini. Ibu muda ini sedang menunjukkan buku bagus bagi
anaknya yang ku terka masih berumur tak lebih dari 8 tahun.
Pemandanganku memperhatikan jalan terahlikan oleh
ibu ini. Bukan karena cara dia menunjukkan buku yang bagus bagi anaknya, tapi
cara dia mengalihkan perhatian anaknya yang takut akibat petir dari turunnya
hujan deras ini, cara dia mengalihkan perhatian anaknya membuat hatiku
tersentuh. Petir-petir yang tadinya bisa membuat anak itu takut tapi kali ini
petir-petir itu tak mampu membuat anak itu takut kembali. Anak itu tidak takut
lagi karena dekapan orang yang paling dia sayang, pengalihan perhatian dari
orang yang sangat dia cinta, pengalihan perhatian dari orang yang penuh kasih
sayang.
Anak itu membelakangi
bagian kaca jendela di lantai dua toko buku ini sambil memegang buku pemberian
ibunya, petir dengan kerasnya terus bersahutan di luar sana, tapi anak itu
tetap santai membaca buku bersama ibunya yang kali ini harus berjongkok membantu anaknya memahami
isi buku itu. petir itu sudah tidak mampu membuat anak ini takut kembali, petir
itu dikalahkan oleh kasih sayang seorang ibu, petir itu di kalahkan oleh
dekapan seorang ibu yang mengalihkan pandangan anaknya ke sebuah buku.
Yang berjudul “Berani".
FOLLOW US : https://twitter.com/aidilnurhidayat
FOLLOW US : https://twitter.com/aidilnurhidayat