Powered By Blogger

Minggu, 20 Oktober 2013

Berani

   Sinar lampu jalanan yang memantul ketika menyinari aspal yang basah terkena hujan bisa membawa suasana hangat yang berselimut. Berselimut di antara dinginnya udara yang membawa air, membawa hawa dingin, dingin yang kian terasa jika mengenai kulit mereka-mereka yang kesepian. Angin tak pernah memberi isyarat kepada hujan saat dia hendak mengirimkan udara dingin pemicu mendung, tak ada pesan yang ku tangkap, tapi hujan selalu tahu mengartikan hal yang di inginkan udara. Hujan memang selalu pengertian. Bahkan untuk sebagian orang hujan selalu pengertian dengan keadaannya.

   Hal yang paling menggores hati ketika hujan tak kunjung turun walaupun udara telah memberi isyarat mendung. Bagi sebagian orang mungkin ini di sebut PHP. Tapi bagi sebagian orang ini di sebut belum waktunya. Aku lebih suka keadaan ini di sebut belum waktunya. Belum waktunya bagi hujan mengartikan udara dingin menjadikan dia menurunkan hujan. Iya, ini belum waktunya.

   Setiap rintik tetes hujan juga bagiku mengagumkan, seperti hendak mengakhiri drama “turunnya hujan” tapi dengan ending yang perlahan-lahan. Pernahkah kau lihat ketika hujan sedang deras-derasnya lalu berhenti begitu saja tanpa sebab akibat? Tak pernah. Yang ada hujan akan mengurangi volume debitnya, lalu kemudian semakin pelan, pelan, dan berhenti. Berhenti mengakhiri drama, berhenti mengakhiri keadaan.

   Di saat seperti ini adalah saat yang di nantikan bagi sebagian orang yang terjebak menunggu hujan di kantor, di sekolah, di toko buku, dll. Mereka menantikan hujan berhenti agar bisa pulang. Tapi tak jarang justrul ketika hujan sudah menunjukkan gelagat berhenti dia malah kembali menangis sederas-derasnya. Seakan ada kesalahan yang di buat oleh awan, matahari, atau udara yang membuat hujan kembali menangis dengan derasnya. Dia memberi PHP bagi orang-orang yang sudah gembira menunggunya berhenti, dia menghancurkan “drama ending berhentinya hujan”, dan dia kembali membuatku menunggu.

   Hujan deras ini membuat ku memandangi jln. Gadjah mada dari lantai 2 sebuah toko buku terkenal, aku memandangin suara klakson dari angkot-angkot yang ingin melaju kencang, aku memandangi beberapa orang berjalan dengan tergesah-gesah karena hujan yang deras. Dan aku memandangi seorang ibu muda di toko buku ini. Ibu muda ini sedang menunjukkan buku bagus bagi anaknya yang ku terka masih berumur tak lebih dari 8 tahun.

   Pemandanganku memperhatikan jalan terahlikan oleh ibu ini. Bukan karena cara dia menunjukkan buku yang bagus bagi anaknya, tapi cara dia mengalihkan perhatian anaknya yang takut akibat petir dari turunnya hujan deras ini, cara dia mengalihkan perhatian anaknya membuat hatiku tersentuh. Petir-petir yang tadinya bisa membuat anak itu takut tapi kali ini petir-petir itu tak mampu membuat anak itu takut kembali. Anak itu tidak takut lagi karena dekapan orang yang paling dia sayang, pengalihan perhatian dari orang yang sangat dia cinta, pengalihan perhatian dari orang yang penuh kasih sayang.

   Anak itu membelakangi bagian kaca jendela di lantai dua toko buku ini sambil memegang buku pemberian ibunya, petir dengan kerasnya terus bersahutan di luar sana, tapi anak itu tetap santai membaca buku bersama ibunya yang kali ini harus berjongkok membantu anaknya memahami isi buku itu. petir itu sudah tidak mampu membuat anak ini takut kembali, petir itu dikalahkan oleh kasih sayang seorang ibu, petir itu di kalahkan oleh dekapan seorang ibu yang mengalihkan pandangan anaknya ke sebuah buku. Yang berjudul “Berani".

FOLLOW US : https://twitter.com/aidilnurhidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar